Sebelum Islam, umat dan bangsa terdahulu telah mempraktikkan sistem waris (pembagian harta bila salah seorang anggota keluarganya meninggal dunia, kecuali anak). Bahkan, di masa Jahiliyah, bangsa Arab telah menjalankan praktik pembagian harta waris yang ditinggalkan oleh anggota keluarga yang meninggal dunia.
Hanya saja, pembagian sistem waris itu berlaku diskriminatif. Anak laki-laki yang belum dewasa dan tidak ikut berperang, tidak berhak mendapatkan hak waris. Begitu juga dengan kaum perempuan, mereka sama sekali tidak berhak mendapatkan harta warisan, kendati yang meninggal dunia adalah orang tuanya atau bahkan suaminya. Dan anak perempuannya, juga tidak berhak mendapatkan harta warisan. Sebaliknya, orang lain yang bukan anggota keluarganya, namun mereka pernah mengikat sumpah setia, malah diberikan hak warisan.
Maka, setelah Islam datang, semua praktik itu dihapuskan. Dalam Islam, semua orang, laki-laki atau perempuan, dewasa maupun anak-anak, yang merupakan bagian dari anggota keluarga yang meninggal dunia, mendapatkan hak waris. Hanya saja, sebelum ayat waris diturunkan, Islam di masa permulaan, sempat mempraktikkan sistem waris yang berbeda. Di antaranya, anak angkat mendapatkan hak waris, orang Muhajirin dan Anshar juga mendapatkan hak serupa.
Dan setelah Allah menerangkan sistem waris Islam melalui firmannya dalam surah An-Nisaa` [4] ayat 11-12, dan 176, maka jelaslah orang-orang yang berhak menjadi ahli waris (Ashab al-Furudl). Semua pihak --laki-laki, perempuan, anak, ibu, bapak, suami, istri, saudara kandung, saudara sebapak, saudara seibu, kakek, nenek, dan cucu-- punya bagian tertentu.
Mereka yang mendapatkan hak waris itu ada yang dikarenakan termasuk dalam dzawil arham, ahlu ar-rahm, ahlu at tanzil, ahlu al-qarabah, dan lain seba gainya. Di antara mereka, ada yang mendapatkan bagian terbanyak, Ashabah (sisa), 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, atau 2/3. Namun demikian, mereka juga bisa tidak mendapatkan harta bagian dise. babkan posisinya yang jauh dari orang yang meninggal dunia. Kedudukan mereka ini disebut dengan mahjub (terha lang). Selain ketentuan ini, yang juga tidak berhak mendapatkan hak waris dalam Islam adalah orang yang mem bunuh dan keluar dari agama Islam.
Berbeda dengan masa jahiliyah, yang meletakkan fungsi dan kedudukan perempuan sebagai orang yang bisa diwarisi misalnya orang tua yang meninggal dunia, maka si anak bisa menikahi ibunya sendiri --agama Islam justru menghormati dan menghargai peran perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan hak warisan.
Kendati perempuan mendapatkan bagian setengah dari laki-laki (lidzdzakari mitslu hadzdzil untsayayn), namun ketentuan itu bisa menjadi lebih banyak dari laki-laki. Sebab, laki-laki punya tanggung jawab menafkahi anggota keluarganya, sedangkan harta bagian perempuan adalah untuk dirinya sendiri.
Karena itulah, Rasul SAW menekankan umat Islam untuk senantiasa melakukan dan melaksanakan hukum waris sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Alquran. Semua yang sudah diatur dalam Alquran bertujuan memberikan keadilan pada setiap orang.
Rasul juga memerintahkan umat Islam untuk mempelajari dan mendalami ilmu waris (faraidl) ini. Sebab, ilmu waris adalah setengah dari seluruh ilmu yang ada. Karena, setengah dari ilmu, maka umat Islam disarankan memperdalamnya. Sebab, lanjut Rasul SAW, ilmu waris ini adalah ilmu yang pertama kali diangkat dari umat Islam. Cara mengangkatnya adalah dengan mewafatkan para ulama yang ahli dalam bidang ini. Wa Allahu a'lam.
***
sumber: Republika Online