Selasa, 30 Maret 2010

De appel valt neit ver van de stam


Sebuah ungkapan lama dari sebuah negeri yang tak bosan-bosannya menjajah kita, Belanda. “Buah apel jatuh tak jauh dari pokoknya”. Jika tak ada yang mengubah takdirnya, niscaya buah apel akan selalu bersama dengan induknya menjadi sebuah hutan apel yang rindang dan indah, serta sedap untuk dipetik.
Ilutrasi di atas hanyalah sebuah pemikiran yang sederhana tentang sebuah transformasi generasi. Begitupun dengan sebuah lembaga yang dibangun dengan komitmen dan kesadaran yang kuat, akan berjalan sesuai dengan pemikiran awal, membangun organisasi kepalangmerahan di tingkat perguruan tinggi dengan mengedepankan integritas dan intelektual. Namun, hal itu bisa menjadi tak mungkin tatkala apa yang sudah direncanakan semula menjadi kabur kepada generasi sesudahnya. Tak sedikit organisasi yang awalnya dibangun dengan menggebu-gebu, setelah sekian puluh tahun rontok, atau paling tidak mati suri. Tragis memang.
Kita boleh menengok kebelakang saat Indonesia memasuk masa krisis 1998, saat itu Suharto sedang berada pada akhir kekuasaannya, namun, ia tak mempertahankannya seperti yang sudah-sudah – padahal kalau ia mau, ia mampu menggerakkan militer untuk meredam itu semua. Akan tetapi Suharto dengan legowo harus mengakui bahwa masanya telah usai. “Saya barangkali tidak dipercaya oleh rakyat, saya akan menjadi pandito, akan mendekatkan diri dengan Tuhan. membimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik, kepada masyarakat bisa memberikan nasihat, bagi negara tut wuri handayani" (BJ Habibie, Detik-detik yang Menentukan, THC Mandiri, 2006)
Dan apa yang terjadi, Indonesia dilanda berbagai macam konflik sosial. Timor-timor lepas dari NKRI, nilai dollar meroket hingga menembus angka Rp.15.000-an/dollar, kejahatan meningkat tajam. Sebuah negara yang telah dibangun susah payah selama 50-an tahun seakan-akan tak tersisa. Pemerintahan seolah-olah tak mempunyai kuasa untuk mengelola negeri ini. Indonesia yang dibanggakan selama ini, hanya tersisa satu bahasa yang sebagai pengikat, satu nusa dan satu bangsa entah dimana disimpan, ironis memang.
Saya tak akan melanjutkan itu semuanya, karena semuanya serba tahu dan memiliki pemahaman yang sama atau bahkan berbeda sama sekali. Namun yang bisa dipetik dari peristiwa itu yaitu tak adanya regenerasi kepemimpinan dalam negeri itu yang akhirnya terpatri di kepala kita “yang itu-itu saja”. Tat kala “yang itu saja” sudah tak dipercaya, maka “sosok baru” untuk meneruskan roda pemerintahan akan sulit melakukannya. Seolah terputus sama sekali.
Begitu pula dalam halnya berorganisasi, apalagi organisasi kemahasiswaan yang diikat oleh emosional belaka. Sangatlah naif jikalau kita berharap sangat tinggi terhadap generasi yang “sangat baru” untuk mengikuti titah “sang penemu” lembaga. Arah organisasi kemahasiswaan sangat ditentukan oleh orang-orang yang ada dalam struktur dan anggota yang menjalankannya. Berbeda teknik pengorganisasian dengan pendahulu itu hal yang sangat lumrah, namun tujuan utama tak ditinggalkan.
Ada beberapa hal yang secara kasat mata dapat kita lihat perubahannya. Pertama, tidak adanya transformasi model kelembagaan yang ideal yang ingin diwujudkan bersama. Hal ini penting, dikarenakan semenjak beberapa periode kepengurusan KSR-PMI Unram menganut model yang berdasarkan keinginan “pemimpin” atau segelintir orang. Sehingga arah organisasi menjadi hambar dan kabur dari awalnya. Walaupun dalam ADRT telah diperinci dengan jelas, namun dalam pelaksanaanya seringkali berbeda.
Contoh kecil saja ingin saya sampaikan, adanya ide untuk lepas dari PMI Cabang Mataram dengan langsu menjadi unit tersendiri. Padahal sebagai ide awal (ini yang saya tangkap) keberadaan KSR-PMI Unit Universitas Mataram adalah untuk mem-backup keberadaan PMI Cabang Mataram, bukan malah untuk melepaskan. Walaupun memang KSR dari segi kualitas dan kuantitas memang lebih baik, namun secara komando/struktur, KSR menjadi bagian dari unit cabang. Dan hal itu menjadi hal yang selalu diungkit-ungkit. Nah inilah yang menjadi ketidakjelasan dari anggota.
Kedua, tidak adanya regenerasi kepemimpinan. Sebagaimana awal tulisan di atas, jiwa kepemimpinan bukanlah suatu yang datang dengan tiba-tiba, namun melalui sebuah proses yang “cukup panjang” dalam berorganisasi. Tidak mesti ada “anak emas”, ya kalau anak emas tersebut mau ataupun memenuhi syarat adminsitrasi, kalau tidak khan cari pemimpin alternatif. Semestinya dalam transformasi kepemimpinan berjenjang, dan memberikan keluasaan untuk mengapresiasikan kemampuannya. Sehingga jikalau ada deadlock masih ada alternatif yang tidak jauh kemampuannya. Dan perlu diingat, dalam organisasi kemahasiswaan, seorang pemimpin haruslah ikhlas dan kreatif. Bukan sekadar sebagai pekerja tapi sebagai kreator dan inovator.
Ketiga, tidak adanya sosok yang mampu mengayomi. Hal ini sudah terlihat pada beberapa kepengurusan yang sepertinya belum atau tidak mampu mencari sosok atau menjadi sosok untuk dapat membimbing berdasarkan porsinya. Hal ini memang agak sulit, namun seringkali pengurus atau anggota disaat yang “genting” tidak memiliki tempat untuk bertukar pikiran. Dan seringkali pengurus dan anggota “disalahkan” sehingga terbesit untuk antipati.
Seperti yang diungkapkan kedua senior kita Kak Aan dan Kak Zamy, memang menjadi masukan ataupun kritikan. Tapi, perlu diingat, apa yang terjadi saat ini mungkin kondisinya jauh berbeda dengan yang dulu. Berbagai kemudahan, masuknya perubahan dan kemajuan tekhnologi telah mempengaruhi pola pikir adik-adik kita. Dan tidak semestinya kita terlalu menyalahkan apa yang terjadi pada mereka, sebab kondisi yang mereka lakukan saat ini merupakan bentuk dari proses-proses kita yang “gagal” untuk mempersiapkan mereka.
Secara pribadi, kondisi KSR-PMI unit Unram bukanlah dalam proses kemunduran. Lebih tepatnya mencari format baru yang sesuai dengan kondisi sekarang. Dan juga semestinya kita (alumni) mahfum dengan hal tersebut. Sebagai contoh, tak perlulah kita membentuk rasa kebersamaan dengan makan beramai-ramai dalam satu narai, atau wajib tidur di sekretariat. Masih banyak hal yang dapat memupuk kebersamaan. Dan itu tugas dari kita bersama.
Apapun yang terjadi di KSR-PMI unit Unram saat ini merupakan suatu proses untuk mencari bentuk yang ideal. …seperti digambarkan oleh musik tradisional, kalian selalu menunggu pemimpin yang akan membawa ke kejayaan, bukannya tiap orang mengatakan bahwa dialah pemimpin yang membawa kepada kejayaan itu…- dialog dalam roman “BUMI MANUSIA”, Pramoedya Ananta Toer -
Biarkan mereka berkreasi dengan ide-idenya.... seperti kata Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulodo, ing madyo mangun karso... kita hanya memberikan nasihat dan arahan untuk adik-adik kita menjadi lebih baik ..... Bravo KSR-PMI Unit Unram ....
***
Oleh : Eko Susilo
Alumni KSR, yang sempat menambah pulau-pulau di bantal sekretariat





Tidak ada komentar:

Posting Komentar