Selasa, 02 Maret 2010

Mbok Tukiyem dan Kebangkitan Perempuan


Kebangkitan perempuan di seluruh dunia, tak melulu diwarnai pekerjaan mentereng, posisi puncak dan gaji selangit. Namun juga semangat kesederhanaan dan jiwa pengabdian yang tulus.

Lihat saja Mbok Tukiyem. Penghuni perkampungan kumuh Muara Angke ini tetap gigih berjuang, meski perjalanan hidupnya terbalut carut marut kemelaratan. Sekalipun kondisi serba tidak punya ini, ia tetap tabah.
Masa remaja Mbok Tukiyem tak seperti kebanyakan anak gadis lainnya, yang main kejar-kejaran atau sekadar mengobrol soal cinta monyet. Ia harus menemani ibunya mencari nafkah menjaja bakul gerabah.
Tahun 60-an Mbok Tukiyem selalu ikut rute dagang ibunya. Dengan kain sinjang (kain pengais tradisional biasa dipakai menggendong bayi) ia menggendong cobek, celengan, kuali, atau kendi mengelilingi Magelang sampai Semarang.
"Saya ndak bisa melihat, jadi saya jalan mengikuti Simbok (ibu) dari belakang. Kami tidak berani naik sepur karena tidak punya uang," kenang Mbok Tukiyem yang kini sudah menginjak usia 69 tahun.
Rute Malang-Semarang tentu tak cukup ditempuh dalam sehari jalan kaki, Mbok Tukiyem dan ibunya terpaksa harus tidur di emperan pasar-pasar becek yang mereka singgahi, seperti Pasar Ambarawa, Unggaran, Blabak, dan lainnya.
Gerabah tak selalu dibutuhkan orang, sehingga dagangan Mbok Tukiyem sulit laku. "Kalo dapat uang nanti dibelikan makanan, beras, minyak, singkong buat di rumah," tuturnya.
Di usia sebelasan tahun, Mbok Tukiyem mengalami kebutaan. Namun, hal itu tak menyurutkan langkahnya untuk giat bekerja. Menginjak 20 tahun, Mbok Tukiyem menikah dengan lelaki Klaten bernama Mardiono yang juga tuna netra. Di siang hari, Sang suami giat bekerja, membuat pembersih piring dari sabut kelapa. Sementara sorenya, beralih profesi jadi pengayam cekatan tikar bambu.
Penghasilan pas-pasan mendorong Mbok Tukiyem menjalani profesi sebagai tukang pijat tradisional. "Kadang sepuluh ribu, kadang ditukar dua gelas beras, atau barang-barang pokok lainnya," tuturnya yang sudah 30 tahun nekad hidup di Jakarta tanpa dikaruniai anak satupun.
Gaji tidak tetap dua pasangan suami-istri yang giat bekerja ini, harus disisihkan lagi. "Takut kalau nanti kami tidak mendapat apa-apa lagi. Orang miskin itu harus selalu berjaga-jaga dan hemat nak, sekalipun sedikit penghasilannya," ujar Mbok Tikiyem tersenyum bijak.
Mbok Tukiyem sempat berbahagia merasakan punya anak angkat. Seorang bayi perempuan yang ditinggal mati Ibu kandungnya, resmi jadi anak angkat Mbok Tukiyem dan suami.
Lalu mereka beri nama Sutimah anak berbakti yang selalu menuntun jalan kedua orangtuanya itu. "Cita-cita dia ingin jadi dokter, tapi kami nggak sanggup biayain sekolah, nyesek rasanya," ujarnya pilu.
Ibarat tak putus dari kesedihan, Mbok Tukiyem harus ikhlas ditinggal mati Sutimah. Pada umur sembilan tahun, Sutimah meninggal karena sakit panas. Mbok Tukiyem dan suaminya tak punya uang untuk ongkos pengobatannya ke Puskesmas di Jakarta. "Ya sudah, kami rawat seadanya pakai ramuan dedauan di kebun belakang rumah bilik kami," ungkapnya sedih.
Meski dalam kesedihan ditinggal mati Sutimah, sepasang orang tua itu tetap bekerja keras. "Saya sedih ditinggal Sutimah, tapi Gusti (Tuhan) yang ngaduh seutuhnya dia, saya tidak diperkenankan memelihara dia lebih lama, saya mau bilang apa toh?" suara Mbok Tukiyem mulai terbata-bata.
Mbok Tukiyem dan suaminya terus bekerja keras meski dilanda kesedihan. Orang kota tampaknya masih ada yang bernurani menolong keluarga ini. Mbok Tukiyem dan suaminya diminta menunggui pondokan dan imbalannya mereka diberi beras atau Sembako (Sembilan bahan pokok) lainnya.
"Permintaan mengayam tikar sepi, karena sekarang saingannya tikar yang plastik. Kalau tikar bikinan saya selesai sepuluh hari karena saya sudah pikun nggak lancar lagi bikinnya," kata Mbok Tukiyem terkekeh.
Semakin tua, Mbok Tukiyem semakin berat hidupnya. Tak cukup penderitaan semasa hidupnya, kenyataan pahit itu datang lagi kala Mardiono meninggalkan dirinya pada 1990 silam. Penyebabnya, apa lagi selain penyakit yang tak bisa diobati karena miskin tak punya uang.
"Saya rela Bapak mati, karena kami sudah berupaya mengobati kesana-kemari seadanya, coba datang ke Puskesmas kami tak dilayani, katanya nggak terdaftar. Tapi ya sudahlah, saya ikhlas," lagi-lagi mulut Mbok Tukiyem menyematkan kata 'tabah'.
Tak ada nada mengeluh dan protes ketika Mbok Tukiyem menceritakan nasibnya yang tampak kontas dengan hari perempuan internasional 8 Maret silam. Di usia senja, Mbok Tukiyem sebatang kara. Rasanya, setiap orang yang menyaksikan Mbok Tukiyem-Mbok Tukiyem lainnya akan mengiba atau protes.
Mbok Tukiyem sendiri tidak protes, malah justru orang yang menyaksikannya tidak tahan untuk tidak protes terhadap kekejaman nasib yang tanpa belas kasihan itu. Lantas, adakah secercah sinar harapan untuk kaum perempuan seperti Mbok Tukiyem ini di hari perempuan internasional?
***
sumber: inilah.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar