Kamis, 18 Maret 2010

Perjalanan: Menangkap Nyale di Sumbawa


Pukul 5 pagi, saya dan teman saya bersiap-siap menuju pantai Tropi di Sekongkang, Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan mengendarai sepeda motor. Awalnya kami berdua sedikit khawatir, karena untuk mencapai pantai tersebut, kami harus melewati jalan setapak berbatu yang dikelilingi hutan, lengkap dengan hewan-hewan liarnya.
Saat siang hari saja, kami seringkali dikejutkan oleh babi hutan yang tiba-tiba melintas, atau ular yang melintang di tengah jalan. Kami khawatir, jika hari gelap, bahkan kera-kera yang sering duduk di pinggir jalan itu pun bisa saja mengejutkan kami.
Namun, akhirnya kami bersyukur karena ternyata, semakin mendekati pantai, jalan setapak itu pun semakin ramai. Saya sendiri sedikit takjub, belum pernah saya lihat pantai Tropi seramai ini. Kendaraan berderet-deret di pinggir pantai yang tidak dilengkapi tempat parkir ini. Tidak hanya penduduk desa saja yang datang, tapi juga pengunjung dari luar daerah, hingga turis-turis asing. Saya tidak menyangka acara menangkap nyale di sini ternyata cukup populer. Padahal daerah ini bukan tempat asal tradisi menangkap nyale ini.
Sebagian besar pengunjung datang bersama seluruh anggota keluarganya. Mereka mengerahkan seluruh tenaga yang ada agar dapat menangkap cacing sebanyak-banyaknya. Mereka membawa peralatan lengkap yang terdiri dari ember, jaring halus, hingga peti es! Namun, yang membuat saya tertawa geli adalah ‘kreativitas’ mereka. Para ibu nampaknya membawa peralatan dapur mereka, baskom plastik untuk menampung nyale dan saringan kelapa untuk menangkap nyale. Bahkan ada yang membawa bakul nasi dan dan kukusan. Nampaknya mereka membawa apa saja yang mereka temukan di rumah yang dapat mereka gunakan untuk ‘berburu’ nyale.
Para bapak pun tidak mau ketinggalan. Mereka membawa topi caping mereka, serta tas dari karung yang mereka sampirkan ke pundak untuk menampung nyale. Yang paling unik tentu saja jaring yang dibuat oleh suami bidan desa kenalan teman saya. Ia membuat sebuah jaring besar dari sisa kelambu malaria yang dibagikan pemerintah. “Supaya dapat banyak!” katanya. Lalu, bagaimana dengan saya dan teman saya? Kami hanya membawa satu barang penting, kamera. Saat orang lain sibuk menangkap nyale, kami sibuk menangkap momen-momen penting, dan tentu saja… berpose.
Tradisi menangkap nyale (atau dalam bahasa Sasak disebut Bau Nyale) berasal dari Pulau Lombok. Tepatnya di sepanjang pantai selatan Lombok. “Nyale” sendiri merupakan sejenis cacing yang hidup di laut. Tradisi ini menjadi istimewa karena cacing nyale hanya dapat ditemukan di pantai-pantai tersebut setahun sekali, yaitu tiap tanggal 20 bulan 10 (bulan Sasak), yang biasanya jatuh tiap bulan Februari atau awal Maret. Itu pun hanya selama 2 atau 3 hari saja.
Lantas apa yang akan dilakukan setelah cacing-cacing tersebut berhasil ditangkap? Dimakan tentunya. Saya meringis-ringis menahan rasa jijik melihat seorang bocah kecil melahap cacing tersebut langsung dari jaringnya. “Nyaman rasa!” serunya, yang berarti ‘enak rasanya’ dalam bahasa Sumbawa. Hanya beberapa saja yang langsung memakannya hidup-hidup. Selebihnya mereka bawa pulang untuk dimasak dan disantap bersama keluarga.
Ada juga yang menjual hasil tangkapannya itu. Harganya cukup mahal, yakni Rp 10.000 untuk satu cangkir cacing nyale. Konon, katanya cacing ini merupakan sumber protein tinggi dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit tifoid (untuk hal ini saya belum menemukan literaturnya).
Ada beberapa alasan mengapa mereka ingin segera memakannya. Pertama, karena katanya rasanya lebih segar (bagi yang tahan jijik). Kedua, karena cacing ini dipercaya dapat membawa berkah bagi keluarga mereka. Selain itu, penduduk setempat juga mengatakan bahwa cacing ini tidak dapat disimpan lama-lama, bahkan di dalam kulkas. Menurut mereka jika disimpan terlalu lama cacing nyale akan berubah menjadi air. Sayang sekali, saya dan teman saya itu tidak sempat membuktikan fenomena tersebut karena kami terlalu asyik berfoto sehingga lupa membawa pulang beberapa cacing.
Di tempat asal tradisi ini, terdapat legenda mengenai tradisi Bau Nyale ini. Konon, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang putri cantik bernama Putri Mandalika. Karena kecantikan dan kelembutan hatinya, banyak pangeran yang ingin meminang sang putri. Akan tetapi, semua lamaran pangeran-pangeran tersebut ditolaknya dengan halus karena dalam pertapaannya, ia mendapat ramalan bahwa apabila ia menikah dengan salah satu pangeran tersebut, maka kerajaannya akan hancur. Dua dari pangeran yang hendak meminang sang putri tidak terima lamaran mereka ditolak.
Mereka pun kemudian mengirimkan semacam ilmu hitam kepada sang putri, sehingga putri tersebut jatuh sakit. Sang putri lantas mengirimkan utusan kepada kedua kerajaan tempat pangeran-pangeran tersebut berasal, dan meminta mereka datang ke tepi pantai Kuta sebelum adzan Shubuh berkumandang untuk mendengarkan keputusan terakhir sang putri.
Tak disangka-sangka, bukan hanya kedua pangeran tersebut yang datang, tetapi juga seluruh rakyat datang berduyun-duyun hendak menyaksikan keputusan akhir sang putri. Di depan kedua pangeran dan rakyat Lombok, Putri Mandalika berdiri di atas batu karang di tepi pantai dan bersumpah bahwa daripada ia menikah dengan salah satu pangeran dan menyebabkan kehancuran bagi kerajaannya, lebih baik ia mengorbankan dirinya menjadi nyale agar dapat membawa berkah bagi seluruh rakyat Lombok.
Setelah mengucapkan sumpah itu, Putri Mandalika menerjunkan dirinya ke laut, dan beberapa saat kemudian muncul cacing-cacing nyale di pantai tersebut. Rakyat percaya bahwa cacing nyale itu adalah jelmaan Putri Mandalika dan mereka berlomba-lomba menangkap cacing tersebut sebanyak-banyaknya.
Di tempat asalnya, Lombok Tengah, tradisi Bau Nyale dijadikan salah satu daya tarik wisata Pulau Lombok. Itulah sebabnya acara Bau Nyale ini menjadi lebih meriah dengan menampilkan berbagai kesenian rakyat, hingga drama Legenda Putri Mandalika pada malam sebelum acara Bau Nyale berlangsung. Di Sekongkang, acara seperti ini tidak ada. Bahkan ritual-ritual tertentu pun tidak ada. Mereka datang hanya untuk menangkap nyale saja. Namun, bukan berarti tradisi nyale di sini menjadi tidak menarik.
Pemandangan pantai Tropi yang indah sudah cukup menghilangkan rasa lelah dan penat setelah menangkap nyale yang amat licin itu. Pantai Tropi memang tidak terlalu terkenal seperti pantai Kuta Lombok. Akan tetapi, pemandangannya tidak kalah indah dengan ombak-ombak besarnya yang bergulung-gulung dan pasir putih yang terhampar sejauh mata memandang. Belum lagi keasrian alamnya yang begitu alami, belum tersentuh pengembang-pengembang swasta yang kadang justru malah merusak kelestarian alam. Bau Nyale di sini juga tidak kalah serunya.
***
sumber: travel.kompas.com



1 komentar: